Perdebatan tentang dinasti yang memerintah kerajaan Mataram Kuno yang pernah hidup di Jawa Tengah masih menjadi hal yang menarik sampai sekarang ini. Dinasti tersebut adalah Sanjaya dan Syailendra Setiap pihak mempunyai argumen yang kuat dengan bukti yang sama, hanya beda dalam penafsiran saja, karena memang uniknya mempelajari sejarah adalah bukti yang sama dapat membuat interpretasi yang berlainan. Sebagian besar data prasasti yang digunakan adalah Prasasti Ligor, Prasasti Sangkara, Prasasti Karangtengah, Prasasti Sri Kahulunan, dan beberapa prasasti lain. Perbedaan pendapat tersebut bagi penulis adalah rahmat tersendiri. Di dalam tulisan ini merupakan pemikiran penulis dan semua penilaian dikembalikan kepada pembaca, karena bagi penulis kebenaran yang hakiki hanya milik-Nya.
Di dalam kesejarahan Indonesia, belum pernah penulis jumpai tentang dua dinasti yang memerintah satu kerajaan, kecuali di Mataram Kuno Jawa Tengah yang bagi mereka yang berpendapat dua dinasti. Dalam kebiasaan politik kerajaan dimasa lalu, sepengetahuan penulis, hanya ada satu dinasti yang memegang pemerintahan, jika ada yang lain pasti terjadi saling mengalahkan, sehingga nantinya hanya satu yang akan muncul ke permukaan, karena yang berhak mengeluarkan prasasti adalah dinasti penguasa. Sebagai contoh adalah dinasti Airlangga yang berarkhir di pemerintahan Kediri (raja Kertajaya), meskipun sebelumnya sudah terjadi perpecahan dimasa Panjalu (Kediri) dan Jenggala, yang masih satu keturunan Airlangga, meskipun kemudian dapat disatukan oleh Jayabaya (Kediri). Dinasti Airlangga dikalahkan oleh Dinasti Rajasa , dengan Ken Arok sebagai "vamca tilaka", peletak dasar dinasti, meskipun yang menyematkan gelar terebut adalah para keturunannya yang memerintah Singosari-Majapahit.
Beberapa prasasti terakhir yang ditemukan, misalnya di daerah Sojomerto, Pekalongan (ditemukan reruntuhan candi pemujaan terhadap Siwa) terdapat kata-kata Dapunta Selendra (mengingatkan pada gelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga di kerajaan Sriwijaya), yang penulis asumsikan, bahwa yang dimaksud adalah peletak dasar Dinasti Syailendra. Selain itu terdapat pula berbagai nama yang identik dengan nama yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu (Sumatra). Jika benar pendapat saya, kiranya dimasa itu ada semacam "perkawinan politik" antara penguasa Jawa dengan penguasa Sumatra.
Kemudian muncul pertanyaan, dimana Sanjaya terletak?. Merujuk pada Prasasti koleksi Bapak Adam Malik yang agak rusak tulisannya, ada kata-kata yang bisa diasumsikan bahwa raja Sangkhara diperbolehkan pindah agama oleh ayahandanya. Kata Sangkara, sampai sekarang belum ditemukan padanannya, kecuali dalam daftar Prasasti Kedu dan Prasasti Wanua Tengah III yang memuat daftar penguasa didalam kerajaan Mataram Kuno, meskipun berupa nama Panangkaran (Sangkara, begitu mirip, apakah hanya salah baca karena tulisan rusak ?? penulis belum mempelajari lebih lanjut.
Bila benar dugaan penulis, maka sebenarnya hanya ada satu Dinasti, yang memang keturunan Sanjaya namun sudah berpindah agama. Perpindahan agama ini tidak diikuti oleh semua keturunannya. Dalam Prasasti yang ditemukan di Candi Sewu, prasasti Manjusri Grha, menyebutkan bahwa penyembahan pada Manjusri (Buddha) hakekatnya adalah sama dengan penyembahan kepada Tri Ratna ( tiga permata : Brahma-Wisnu-Siwa). Dengan demikian agama yang hidup di Mataram Kuno Jawa Tengah berdampingan dengan damai bahkan terjadi saling kerjasama.
Pertanyaan yang muncul lagi adalah anggapan Rakai Pikatan-Pramodhawardhani yang dianggap penyatuan dua dinasti (Sanjaya dengan Syailendra). Pendapat penulis adalah hakekatnya penyatuan keluarga yang masih satu darah dengan perbedaan keyakinan saja. Masih ingat cerita Panji Kudawanengpati-Dewi Sekartaji, perkawinan antar keturunan Airlangga yang dipisahkan oleh keadaan politik Panjalu-Jenggala, sehingga asumsi penulis yang terjadi diantara Rakai Pikatan-Pramodhawardhani pun demikian.
Bagaimana dengan kekuasaan dinasti Syailendra di Sumatra?? kekuasaan Mataram Kuno Jawa Tengah di Sumatra merupakan penundukkan yang kemudian di legitimasi lagi dengan perkawinan politik dengan sistem pemerintahan federal. Hal ini penulis teringat dengan sistem percandian Mataram Kuno Jawa Tengah yang mayoritas terpusat (sentralistik), berdiri sendiri-sendiri (mandiri), kemudian terdapat juga rebah kebelakang dengan candi induk di belakang (federal). Mungkinkah, merupakan tanda sistem kekuasaan Mataram Kuno Jawa Tengah waktu itu dari kerajaan kecil-kecil yang kemudian disatukan oleh Sanjaya, (prasasti Canggal 732 M) dan setelah bersatu menerapkan sistem sentralistik dengan tujuan konsolidasi. Keberhasilan konsolidasi kemudian diteruskan dengan ekspansi ke Sumatra dengan kemenangan ditangan Mataram Kuno Jawa Tengah meskipun perbedaan mayoritas agama yang dianut tidak dijadikan soal (Sumatra mayoritas Buddha dan Jawa mayoritas Hindu) yang dituangkan dalam Prasasti Manjusri Grha dan sistem percandian yang rebah kebelakang (federal). Tentang candi dan sistem percandian bisa ditemukan ditiap artikel candi di blog penulis. Penyatuan Mataram Kuno Jawa Tengah dengan kekuasaan di Sumatra mengingatkan penulis pada raja dalam daftar penguasa Mataram Kuno yang bernama Rakai Panunggalan, meskipun nama dibelakang ke-rakai-an sering dihubungkan dengan kekuasaan raja yang bersangkutan saat masih menjadi putra mahkota (yuwa raja = raja muda), namun agaknya pemilihan Panunggalan menjadi raja dapat dikaitkan dengan "manunggalnya" kekuasaan Jawa-Sumatra di satu keturunan/tangan dan memiliki gelar "dharanindra viravairi mathana " pembunuh musuh yang perwira.
Dengan demikian dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :
- Kerajaan Mataram Kuno hakekatnya terdapat satu dinasti yang diantara keturunan dinasti tersebut memeluk agama yang berbeda.
- Kekuasaan Mataram Kuno Jawa Tengah yang mencapai Sumatra dieratkan lagi dengan perkawinan politik.
- Kekuasaan yang begitu besar dikendalikan dengan sistem federal, yang tercermin pada berubahnya pola percandian yang ada.
- Perkawinan Rakai Pikatan-Pramodhawardhani hendaknya dilihat sebagai perkawinan antar saudara yang masih memiliki pertalian darah, hanya saja berbeda agama.
- Kerukunan beragama yang sudah ada dimasa Mataram Kuno Jawa Tengah terjalin erat.
- Kekuasaan Mataram Kuno Jawa Tengah yang mencapai Sumatra (penyatuan kekuasaan Jawa-Sumatra) dapat disimbolkan dari nama Raja Rakai Panunggalan.
Penulis dalam hal ini lebih menekankan kerukunan dalam keberagaman yang memang sudah menjadi budaya bangsa Indonesia sejak dahulu. Perlu diingat penulisan sejarah hendaknya mengantisipasi motif pecah belah dari pihak yang tidak menginginkan bangsa Indonesia memiliki persatuan yang kuat, diantaranya adalah sengaja memberi asumsi pada generasi muda memang berupa pengetahuan bahwa sejak dahulu benih perpecahan memang ada dan tetap dipelihara.
Kepustakaan :
- Slamet Muljana, Prof, Dr. Sriwijaya. 2006. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta
- Slamet Muljana, Prof, Dr. Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi. 1981. Jakarta : Yayasan Idayu
- Nia Kurnia Sholihat Irfan. Sriwijaya. 1982. Bandung
- Harun hadiwiyono, Dr. Agama Hindu & Buddha. 2001. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia
- Djoko Nugroho, et all. Menapak Jejak Sejarah. 1995. Semarang : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kanwil Jawa Tengah
No comments:
Post a Comment