Friday 19 March 2010

Pendidikan yang Berwawasan

Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan dari NKRI yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, dan sering dibacakan setiap ada upacara bendera. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Menyoroti pemerintah, maka diadakanlah sekolah baik formal maupun non formal, berikut berbagai sarana, prasarana, regulasi/aturan, dan lain sebagainya.

Di kesempatan ini saya mencoba menuangkan pemikiran saya tentang sekolah yang berwawasan, baik wawasan kebangsaan, lingkungan, kerja, teknologi,  etika-kesopanan, kebudayaan.

  • Wawasan Kebangsaan


Sudah sewajarnya sekolah terus memupuk rasa kebangsaan kepada segenap warga sekolah, baik dalam hal yang bersifat insidental maupun keseharian. Sikap-sikap yang mengarah pada pemupukan rasa nasionalisme-patriotisme seringnya akan muncul bila ada isu "co-enemy", misalnya saat krisis Ambalat, atau saat upacara bendera yang sifatnya insidental-seremonial saja, namun dalam keseharian sering terlupakan. Sebenarnya wawasan kebangsaan dapat dimasukkan dalam semua pelajaran, dengan tujuan untuk meningkatkan rasa bangga terhadap bangsa dan negara. Hal ini bukan berarti harus diwujudkan dalam "chauvinisme", tetapi lebih berorientasi pada kemajuan bangsa dan negara. Misalnya dalam mapel Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) siswa dikenalkan blog atau pun face book, maka alangkah baiknya digunakan sebagai media untuk mempererat persatuan bangsa dan lebih mengenalkan Indonesia yang berkebudayaan tinggi kepada bangsa sendiri apalagi dunia internasional, serta membentuk generasi muda yang lebih peduli terhadap lingkungan (sosial-hayati) dan bangsa-negara.


 




  • Wawasan Lingkungan


Global warming merupakan isu yang sedang mengemuka sekarang ini. Sering sekali murid-murid sekolah diajak untuk beramai-ramai melakukan penanaman sejuta pohon yang digerakkan oleh pemerintah, namun kita lupa terhadap lingkungan sekolah sendiri. Kadang dijumpai suatu sekolahan yang "hampir" tidak terdapat pohon satu pun, hanya terdapat "pohon beton" saja. Padahal saya yakin, setiap sekolah mengajarkan pelajaran IPA. Berbagai alasan pun dilontarkan, seperti minimalnya lahan dan lain sebagainya. memang tak dapat dipungkiri bahwa lahan diperkotaan semakin sempit, meski hal tersebut sebenarnya bukan menjadi alasan untuk tidak menanam pohon, karena sekarang banyak jenis pohon yang mudah ditumbuh (atau konsultasi ke dinas/departemen kehutanan, bisa juga browsing internet tentang hal tersebut).  Saya yakin, dengan sekolah yang asri, pasti akan menyejukkan suasana yang nantinya berpengaruh dalam Kegiatan Belajar Mengajar (sejuk pasti akan membawa kesegaran tubuh dan berpikir).

  • Wawasan Kerja


sekolah yang berwawasan kerja bukan berarti hanya sekolah kejuruan saja, tetapi semua sekolah dapat menerapkan hal tersebut. Semua mapel dapat dikembangkan kedalam dunia kerja dan aplikasinya. Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya lebih menekankan siswa untuk berkarya yang berguna dikehidupan nyata, lebih baik lagi yang bernilai ekonomis. Penekanan ekonomis perlu dilihat karena sering kita mendapat pertanyaan, "belajar itu bisa buat cari duit nggak sih ? ", dan jawaban yang diinginkan adalah instant, artinya bisa langsung diaplikasikan.

  • Wawasan Teknologi


Sudah menjadi tuntutan jaman, bahwa kemajuan teknologi merupakan langkah pasti yang tak terhentikan (sementara ini). Anak didik merupakan investasi masa depan yang sangat berharga. Bekal untuk mereka tidaklah sedikit, apalagi masa mereka nantinya adalah masa teknologi maju (pastinya lebih maju dari sekarang), maka dari itu sudah sewajarnya kita menumbuhkan semangat mereka untuk tidak hanya memanfaatkan teknologi, tetapi juga menciptakan teknologi yang baru dan lebih baik.

  • Wawasan Etika-Kesopanan


Etika-kesopanan merupakan suatu masalah yang sangat penting dunia pendidikan. Perlu diciptakan keteladanan dari guru tentang etika-kesopanan, disamping penerapan aturan yang tegas dan disiplin. Kadang pendidik lebih menekankan aspek kognitif dan psikomotornya saja, tetapi aspek afektif  (dalam hal ini etika-kesopanan) sering terlupa. Asalkan pinter dan mampu membawa prestasi sekolah naik, maka hal itu tidak menjadi soal. Padahal kita tahu, dalam dunia kerja, sepintar apa pun orang jika etika-kesopanan ditinggalkan, bisa saja mendapat masalah dalam pekerjaan. Selain itu aturan yang sudah disetujui bersama kadang dilanggar sendiri. Contoh mudahnya adalah masalah pakaian/seragam sekolah; banyak dijumpai siswa memakai seragam yang tidak sesuai aturan sekolahnya (baju tidak dimasukkan, rok pendek diatas lutut, dsb). Alasan yang dikemukakan siswa adalah mengikuti mode, meskipun tidak bisa sepenuhnya tanggung jawab dibebankan pada sekolah, tapi masyarakat pun harusnya ikut bertanggung jawab, dalam hal ini tayangan film atau lainnya yang memang demikian adanya (seragam yang tak sesuai aturan). Saya yakin setiap sekolah mempunyai aturan jelas, tinggal penerapan dilapangan dan penegakkan aturan itu sendiri. Penegakkan aturan tersebut meliputi semua komponen sekolah.

  • Wawasan Kebudayaan


Pendidikan yang berkebudayaan....agaknya hal ini yang kurang diterapkan kepada siswa. Sebagai contoh, untuk Jawa Tengah, saya perlu bangga karena menerapkan mapel Bahasa Jawa yang sarat akan budaya, tetapi sering dijumpai siswa kesulitan dengan bahasa mereka sendiri, bahkan guru juga demikian (hal ini tidak berlaku pada guru mapel bersangkutan). Bisa dibayangkan jika setiap mapel, kadang atau bahkan seria menggunakan bahasa Jawa tersebut dalam Kegiatan Belajar Mengajar, maka secara tidak langsung pembiasaan ini akan menjadi mata rantai pelestarian budaya yang lebih efektif .

Ujian Nasional dan Kontroversinya

Ujian Nasional dilaksanakan serentak diseluruh Indonesia. Pro dan kontra seputar UN setiap hari semakin banyak bermunculan. Bila ditelaah lebih lanjut, perlukah UN diadakan dalam Sistem Pendidikan di Indonesia ? Mari kita lihat pendapat pihak Pro-Kontra UN.


Pendapat Kontra :




  1. Sekolah memiliki sarana-prasarana yang berbeda sehingga kemampuan dalam mengantarkan anak didik untuk menguasai mata pelajaran juga berbeda.

  2. Dalam ijasah (yang diperlukan dalam mencari pekerjaan) tercantum semua mapel, tidak hanya mapel UN saja. Ini menimbulkan ketimpangan.

  3. Pemberlakuan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) seharusnya memberikan otonomi luas kepada sekolah dalam hal kelulusan, tidak tergantung pada UN.

  4. Ada sekolah-sekolah khusus, misalnya sekolah yang intensif pada seni, olahraga, ketrampilan, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah tersebut seharusnya menempuh UN yang berbeda dengan sekolah umum.

  5. UN lebih mengutamakan aspek kognitif saja, sedangkan pendidikan menekankan aspek kognitif, aspek psikomotor, dan aspek afektif.


Pendapat Pro  UN :




  1. Pemerintah memerlukan suatu data statistik untuk mendapat gambaran ketercapaian pendidikan.

  2. Diperlukan adanya standard tertentu dalam pendidikan, dalam hal ini dapat dicapai melalui UN.


Pendapat penulis :




  1. UN bisa dijalankan asalkan disesuaikan dengan kondisi sekolah yang ada di Indonesia, misalnya Sekolah Bertaraf Internasional, Sekolah Standar Nasional, Sekolah olah raga, sekolah seni, sekollah reguler (biasa). Artinya soal yang ada haruslah melihat perbedaan yang ada, atau malah dibedakan sama sekali.

  2. Pemerintah memberi sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan.

  3. Materi UN seharusnya imbang dalam hal aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.

  4. Aturan yang jelas tentang KTSP dan UN beserta hal-hal yang berhubungan dengan itu.

  5. Penting untuk diperhatikan adalah tingkat kualitas lulusan bukan kuantitas.

  6. UN bukan komoditas politik, karena pemerintah daerah akan menyoroti hasil UN dari sisi politis, padahal pendidikan harusnya lebih independen dan tidak di intervensi.

  7. Atau UN tetap ada tetapi tidak berpengaruh pada kelulusan (artinya semua siswa lulus/tamat) tetapi nilai UN dicantumkan dalam ijasah/STTB, sehingga diharapkan kecurangan dalam UN bisa ditekan/diminimalkan karena semua akan lulus/tamat berapapun nilainya (dan yang benar-benar serius belajar akan mendapat bagus pula, sedang yang kurang serius pasti akan puas dengan hasil yang memang diusahakan sendiri).  Pemerintah akan dapat gambaran pendidikan seutuhnya (tanpa rekayasa), dunia kerja mendapat kualitas sesungguhnya, pendidikan selanjutnya juga bebas melakukan tes penerimaan sendiri.


Dari sekian banyak pendapat, saya yakin pemerhati pendidikan, pendidik, maupun anak didik juga memiliki pendapatnya sendiri. Iklim demokrasi sekarang ini sangat bagus untuk berpendapat, meskipun akan lebih baik lagi diikuti dengan solusi yang ditawarkan. Sekian

Sunday 14 March 2010

WORKSHOP BLOG

Dalam meningkatkan profesionalitas dan meningkatkan ketrampilan guru dalam melakukan kegiatan penulisan maka diadakan workshop blogg tingkat nasional di Purbalingga.

Halo dunia!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Disqus Shortname

Comments system