Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel (Sistem Tanam) merupakan suatu kebijakan yang berisi tentang kewajiban untuk menanam tanaman tertentu yang kemudian hasilnya dijual kepada Pemerintah Kolonial dengan harga yang ditetapkan. Masa ini diterapkan mulai 1830, setelah Perang Jawa, sebutan Belanda bagi Perang Diponegoro, berakhir. Kebijakan yang memiliki dampak pada berbagai bidang ini yang juga diterapkan oleh Pemerintah Kolonial di Purbalingga. Purbalingga menjadi daerah kekuasaan Pemerintaj Kolonial akibat perjanjian yang dilakukan Kasunanan Surakarta yaitu ganti rugi kepada Pemerintah Kolonial yang telah membantu memadamkan perlawanan Diponegoro. Kebijakan yang dicetuskan oleh Van den Bosch ini telah memicu modernisasi di Purbalingga.
Van den Bosch
Purbalingga yang merupakan bagian dari Mancanegara Kilen, saat dikuasai Kasunanan Surakarta, kemudian dibentuk menjadi sebuah distrik atau kabupaten.Pelaksanaan Tanam Paksa di Purbalingga kemudian diikuti dengan penanaman tanaman wajib seperti kopi, nila, dan tebu. Pusat penanaman kopi berada di bagian utara Purbalingga, diantaranya daerah Karangreja, yang kemudian muncul istilah Kopi Santri yang cukup dikenal di daerah yang bersangkutan. Istilah tersebut merupakan sebutan bagi lidah lokal dari kata dalam bahasa Belanda yaitu Koffie Centrum. Adapun perkebunan Nila atau Indigo berada didaerah Kaligondang dan sekitarnya sehingga kemudian didirikan industri pengolahan nila. Pabrik pengolahan nila ini kemudian mengalami kebangkrutan sehingga bangunan dan tanah yang ada dibeli oleh Yayasan Zending, untuk kemudian hari bangunan bekas pabrik tersebut dijadikan Rumah Sakit Umum yang dikenal sebagai Rumah Sakit Trenggiling karena di daerah Trenggiling, Kalikajar-Kaligondang. Kini seiring dengan berpindahnya Rumah Sakit Umum maka bangunan yang ada digunakan oleh Dinas Perhubungan. Tanaman tebu juga memberi dampak yang salah satunya berupa industri gula, yaitu ada 2 pabrik gula di Purbalingga yaitu Pabrik Gula Bojong dan Pabrik Gula Kalimanah.