Thursday, 31 October 2019

Tanam Paksa dan Modernisasi di Purbalingga

Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel (Sistem Tanam) merupakan suatu kebijakan yang berisi tentang kewajiban untuk menanam tanaman tertentu yang kemudian  hasilnya dijual kepada Pemerintah Kolonial dengan harga yang ditetapkan. Masa ini diterapkan mulai 1830, setelah Perang Jawa, sebutan Belanda bagi Perang Diponegoro, berakhir. Kebijakan yang memiliki dampak pada berbagai bidang ini yang juga diterapkan oleh Pemerintah Kolonial di Purbalingga. Purbalingga menjadi daerah kekuasaan Pemerintaj Kolonial akibat perjanjian yang dilakukan Kasunanan Surakarta yaitu ganti rugi kepada Pemerintah Kolonial yang telah membantu memadamkan perlawanan Diponegoro. Kebijakan yang dicetuskan oleh Van den Bosch ini telah memicu modernisasi di Purbalingga.

Van den Bosch

Purbalingga yang merupakan bagian dari Mancanegara Kilen, saat dikuasai Kasunanan Surakarta, kemudian dibentuk menjadi sebuah distrik atau kabupaten.Pelaksanaan Tanam Paksa di Purbalingga kemudian diikuti dengan penanaman tanaman wajib seperti kopi, nila, dan tebu. Pusat penanaman kopi berada di bagian utara Purbalingga, diantaranya daerah Karangreja, yang kemudian muncul istilah Kopi Santri yang cukup dikenal di daerah yang bersangkutan. Istilah tersebut merupakan sebutan bagi lidah lokal dari kata dalam bahasa Belanda yaitu Koffie Centrum. Adapun perkebunan Nila atau Indigo berada didaerah Kaligondang dan sekitarnya sehingga kemudian didirikan industri pengolahan nila. Pabrik pengolahan nila ini kemudian mengalami kebangkrutan sehingga bangunan dan tanah yang ada dibeli oleh Yayasan Zending, untuk kemudian hari bangunan bekas pabrik tersebut dijadikan Rumah Sakit Umum yang dikenal sebagai Rumah Sakit Trenggiling karena di daerah Trenggiling, Kalikajar-Kaligondang. Kini seiring dengan berpindahnya Rumah Sakit Umum maka bangunan yang ada digunakan oleh Dinas Perhubungan. Tanaman tebu juga memberi dampak yang salah satunya berupa industri gula, yaitu ada 2 pabrik gula di Purbalingga yaitu Pabrik Gula Bojong dan Pabrik Gula Kalimanah.

Jembatan Lori tebu yang menghubungkan areal tebu di Kaligondang menuju Pabrik Gula Bojong melintasi Kali Klawing




Perkembangan industri dengan berdirinya berbagai pabrik dan meningkatnya hasil tanaman membutuhkan sarana dan prasarana transportasi untuk menunjang perdagangan komoditi yang ada. Jalan dalam kota dan antarkota mulai dilebarkan dan diperkeras. Selain daripada itu kereta api juga dibangun dengan masuknya SDS (Serajoedal Stoomtram Maschapiij) atau Maskapai Kereta Trem Lembah Serayu dalam bisnis transportasi di Banyumas Raya. Jalur SDS setidaknya dari Wonosobo-Banjarnegara-Purbalingga-Sokaraja-Purwokerto-Cilacap, kota terakhir yang disebutkan merupakan tempat ekspor impor hasil bumi dari pedalaman yang ada. Pergerakan barang dan manusia semakin cepat dan mudah bahkan memunculkan simpul-simpul baru ekonomi begitu pula pusat-pusat ekonomi baru.


Emplacement Station atau Stasiun perpindahan rel SDS dengan latar belakang Gunung Slamet














No comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system