Perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan mengalami hambatan dan tantangan. Proklamasi 17 Agustus 1945 disusul dengan perjanjian Linggajati pada 1947 menunjukkan kemajuan diplomasi Indonesia, meskipun dalam kesepakatan hanya diakui secara "de facto" atas Jawa, Sumatra, dan Madura, serta tentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (terdiri dari RI dan beberapa negara bagian serta daerah otonom) untuk selanjutnya membentuk Uni Indonesia Belanda.
Kesepakatan yang terakhir kemudian menimbulkan perbedaan penafsiran antara pihak Indonesia dan Belanda. Perbedaan tersebut kemudian meruncing sehingga Belanda secara sepihak menyatakan tidak terikat lagi dengan Linggajati. Hal ini selanjutnya diteruskan dengan Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 atau yang dikenal dengan "Clash I".
Agresi dilancarkan ke wilayah-wilayah
milik Indonesia sesuai hasil Perjanjian Linggarjati, tidak terkecuali
Purbalingga.
Penyerbuan ke Purbalingga melalui jalur
utara. Tentara Belanda yang menyerbu Tegal melanjutkan serbuannya ke
Purwokerto. Usaha ini mengalami kesulitan karena barikade dan perlawanan
tentara Indonesia bersama rakyat sepanjang jalan dari Tegal ke Ajibarang.
Belanda kemudian mengalihkan jalur penyerangan melalui
Tegal-Belik-Bobotsari-Purbalingga hingga ke Purwokerto. `
Penyerbuan ke Purbalingga sejatinya
tidak mudah. Barikade banyak dipasang sepanjang jalan Belik hingga Purbalingga.
Perlawanan dari pejuang-pejuang Indonesia dilakukan untuk menghambat gerak laju
pasukan Belanda. Hal ini dilakukan karena pasukan Belanda menyerang secara
tiba-tiba dan menggunakan kekuatan yang besar serta bersenjata modern dan
lengkap. Perlawanan hebat terjadi di Bobotsari. Tentara Indonesia baik dari TKR
dan Tentara Pelajar dari seksi IMAM (Indonesia Merdeka Atau Mati) bahu membahi
bersama rakyat melakukan bumi hangus sebelum mengundurkan diri ke sebelah timur
kota dan terus menuju Rembang.
Langkah tentara Belanda menuju
Purbalingga semakin mudah dengan adanya pergerakan mundur tentara Indonesia. Informasi
tentang laju tentara Belanda segera direspon oleh pemerintah kabupaten
Purbalingga saat itu. Upaya agar roda pemerintahan tetap berjalan maka
dilakukan strategi berupa pemerintahan dalam pengasingan.
Bupati R Ario Soegondo mengungsi ke
Candiwulan, Kutasari, dan R Kartono mengungsi ke Dusun Semingkir, Desa
Bantarbarang, Rembang. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi apabila R Ario
Soegondo tertangkap dan dipaksa Belanda untuk menjalankan pemerintahan versi
Belanda, maka R Kartono tetap dapat menjalankan pemerintahan versi Indonesia di
pengasingan.
Strategi ini sebenarnya juga berdampak
pada pemecahan fokus penyerangan Belanda sehingga pemerintahan di pengungsian
tidak dapat terkejar Belanda. Pemilihan daerah Rembang sebagai basis perlawanan
tidak lepas dari topografi daerah tersebut yang berbukit-bukit dengan sungai
yang lebar dan jauh dari pusat kota Purbalingga yang merupakan fokus serangan
Belanda. Selain itu, daerah tersebut juga dekat dengan Banjarnegara yang
relatif aman dari serbuan Belanda.
Pertimbangan strategi tersebut ternyata
menjadi kenyataan. Belanda yang kesulitan dalam mengelola daerah Purbalingga
kemudian melakukan pendataan aparat pemerintahan sebelum “politionale actie”, istilah Belanda terhadap Agresi Militer.
Belanda kemudian melakukan pencarian dan berhasil memaksa Bupati R Ario
Seogondho, yang saat itu mengungsi di Candiwulan, Kutasari untuk menduduki
bupati Purbalingga versi Belanda. Pemerintahan pendudukan Belanda dikenal
dengan RECOMBA.
Berita tentang Bupati R Ario Soegondho yang
dipaksa oleh Belanda, tidak menyurutkan R Kartono melanjutkan pemerintahan
Purbalingga versi Indonesia di pengungsian di dusun Semingkir, Desa
Bantarbarang. Pemerintahan ini dipusatkan di Balai Dusun Semingkir. Lokasi
dusun ini berada di perbukitan dan terpisah dari Bantarbarang oleh Sungai
Gintung. Sebuah lokasi yang aman, cukup terpencil, dan jauh dari jangkauan
Belanda.
Balai dusun tersebut sebenarnya rumah
dari Bapak Reksa Wijaya yang saat itu menjabat sebagai “bau”. Jabatan “bau”
apabila disamakan dengan kondisi saat ini adalah setingkat kepala dusun,
meskipun ada sedikit perbedaan dalam beberapa hal. Beliau adalah putra dari
Bapak Candraprana yang juga tokoh masayarakat setempat. Pengungsi juga tidak hanya
dari unsur pemerintahan tetapi juga banyak warga sipil dari kota Purbalingga.
Bagian rumah yang digunakan sebagai pusat “pemerintahan sementara” sebenarnya
adalah bagian pendopo dari rumah Bapak Reksa Wijaya. Pendopo yang bergaya “bale tikelan” tersebut merupakan
satu-satunya bangunan yang cukup luas dan layak untuk dijadikan kantor.
Pemerintahan sementara yang berada
dipengungsian hanya berusia kurang dari 1 tahun. Keadaan ini terjadi akibat
penandatanganan Perjanjian Renville 17 Januari 1948 sebagai upaya mengakhiri
Agresi Militer Belanda I. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah penarikan
mundur semua kekuatan Indonesia dari daerah pendudukan hasil Agresi Militer
Belanda I. Oleh karena itu, Purbalingga kemudian dikuasai oleh Belanda sesuai
hasil perjanjian, sedangkan aparat sipil dan militer Indonesia harus
meninggalkan wilayah pendudukan untuk masuk ke wilayah Indonesia. Kondisi
inilah kemudian diikuti dengan perpindahan aparat pemerintahan Purbalingga di
pengungsian dusun Semingkir ke Banjarnegara yang merupakan wilayah Indonesia.
Daerah Rembang juga menjadi lintasan “long
march” Divisi Siliwangi (cikal bakal Kodam Siliwangi) dari Jawa Barat untuk
masuk ke wilayah Indonesia.
Kini rumah yang dahulu dijadikan kantor
pemerintahan sementara Purbalingga disaat Agresi Militer Belanda I hingga
Perjanjian Renville sudah direnovasi sedemikian rupa. Hal ini dilakukan karena
bangunan kayu yang memiliki ketahanan kurang kuat dan banyak kerusakan.
Bangunan tersebut kini dikelola oleh Bapak Imam Sudibyo.
Tulisan sudah diterbitkan Majalah Derap Perwira
Rumah "Bahu" yang dulu digunakan sebagai Kantor Bupati Purbalingga versi RI dalam pengasingan (kini sudah direhab karena kondisi rumah kayu yang mudah rusak) |
No comments:
Post a Comment