Saturday, 2 January 2021

Purbalingga Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (2): Ketika Purbalingga memiliki Dua Bupati

Perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan mengalami hambatan dan tantangan. Proklamasi 17 Agustus 1945 disusul dengan perjanjian Linggajati pada 1947 menunjukkan kemajuan diplomasi Indonesia, meskipun dalam kesepakatan hanya diakui secara "de facto" atas Jawa, Sumatra, dan Madura, serta tentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (terdiri dari RI dan beberapa negara bagian serta daerah otonom) untuk selanjutnya membentuk Uni Indonesia Belanda. 

Kesepakatan yang terakhir kemudian menimbulkan perbedaan penafsiran antara pihak Indonesia dan Belanda. Perbedaan tersebut kemudian meruncing sehingga Belanda secara sepihak menyatakan tidak terikat lagi dengan Linggajati. Hal ini selanjutnya diteruskan dengan Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 atau yang dikenal dengan "Clash I". 

Agresi dilancarkan ke wilayah-wilayah milik Indonesia sesuai hasil Perjanjian Linggarjati, tidak terkecuali Purbalingga.

Penyerbuan ke Purbalingga melalui jalur utara. Tentara Belanda yang menyerbu Tegal melanjutkan serbuannya ke Purwokerto. Usaha ini mengalami kesulitan karena barikade dan perlawanan tentara Indonesia bersama rakyat sepanjang jalan dari Tegal ke Ajibarang. Belanda kemudian mengalihkan jalur penyerangan melalui Tegal-Belik-Bobotsari-Purbalingga hingga ke Purwokerto. `

Penyerbuan ke Purbalingga sejatinya tidak mudah. Barikade banyak dipasang sepanjang jalan Belik hingga Purbalingga. Perlawanan dari pejuang-pejuang Indonesia dilakukan untuk menghambat gerak laju pasukan Belanda. Hal ini dilakukan karena pasukan Belanda menyerang secara tiba-tiba dan menggunakan kekuatan yang besar serta bersenjata modern dan lengkap. Perlawanan hebat terjadi di Bobotsari. Tentara Indonesia baik dari TKR dan Tentara Pelajar dari seksi IMAM (Indonesia Merdeka Atau Mati) bahu membahi bersama rakyat melakukan bumi hangus sebelum mengundurkan diri ke sebelah timur kota dan terus menuju Rembang.

Langkah tentara Belanda menuju Purbalingga semakin mudah dengan adanya pergerakan mundur tentara Indonesia. Informasi tentang laju tentara Belanda segera direspon oleh pemerintah kabupaten Purbalingga saat itu. Upaya agar roda pemerintahan tetap berjalan maka dilakukan strategi berupa pemerintahan dalam pengasingan.

Bupati R Ario Soegondo mengungsi ke Candiwulan, Kutasari, dan R Kartono mengungsi ke Dusun Semingkir, Desa Bantarbarang, Rembang. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi apabila R Ario Soegondo tertangkap dan dipaksa Belanda untuk menjalankan pemerintahan versi Belanda, maka R Kartono tetap dapat menjalankan pemerintahan versi Indonesia di pengasingan.

Strategi ini sebenarnya juga berdampak pada pemecahan fokus penyerangan Belanda sehingga pemerintahan di pengungsian tidak dapat terkejar Belanda. Pemilihan daerah Rembang sebagai basis perlawanan tidak lepas dari topografi daerah tersebut yang berbukit-bukit dengan sungai yang lebar dan jauh dari pusat kota Purbalingga yang merupakan fokus serangan Belanda. Selain itu, daerah tersebut juga dekat dengan Banjarnegara yang relatif aman dari serbuan Belanda.

Pertimbangan strategi tersebut ternyata menjadi kenyataan. Belanda yang kesulitan dalam mengelola daerah Purbalingga kemudian melakukan pendataan aparat pemerintahan sebelum “politionale actie”, istilah Belanda terhadap Agresi Militer. Belanda kemudian melakukan pencarian dan berhasil memaksa Bupati R Ario Seogondho, yang saat itu mengungsi di Candiwulan, Kutasari untuk menduduki bupati Purbalingga versi Belanda. Pemerintahan pendudukan Belanda dikenal dengan RECOMBA.

Berita tentang Bupati R Ario Soegondho yang dipaksa oleh Belanda, tidak menyurutkan R Kartono melanjutkan pemerintahan Purbalingga versi Indonesia di pengungsian di dusun Semingkir, Desa Bantarbarang. Pemerintahan ini dipusatkan di Balai Dusun Semingkir. Lokasi dusun ini berada di perbukitan dan terpisah dari Bantarbarang oleh Sungai Gintung. Sebuah lokasi yang aman, cukup terpencil, dan jauh dari jangkauan Belanda.

Balai dusun tersebut sebenarnya rumah dari Bapak Reksa Wijaya yang saat itu menjabat sebagai “bau”. Jabatan “bau” apabila disamakan dengan kondisi saat ini adalah setingkat kepala dusun, meskipun ada sedikit perbedaan dalam beberapa hal. Beliau adalah putra dari Bapak Candraprana yang juga tokoh masayarakat setempat. Pengungsi juga tidak hanya dari unsur pemerintahan tetapi juga banyak warga sipil dari kota Purbalingga. Bagian rumah yang digunakan sebagai pusat “pemerintahan sementara” sebenarnya adalah bagian pendopo dari rumah Bapak Reksa Wijaya. Pendopo yang bergaya “bale tikelan” tersebut merupakan satu-satunya bangunan yang cukup luas dan layak untuk dijadikan kantor.

Pemerintahan sementara yang berada dipengungsian hanya berusia kurang dari 1 tahun. Keadaan ini terjadi akibat penandatanganan Perjanjian Renville 17 Januari 1948 sebagai upaya mengakhiri Agresi Militer Belanda I. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah penarikan mundur semua kekuatan Indonesia dari daerah pendudukan hasil Agresi Militer Belanda I. Oleh karena itu, Purbalingga kemudian dikuasai oleh Belanda sesuai hasil perjanjian, sedangkan aparat sipil dan militer Indonesia harus meninggalkan wilayah pendudukan untuk masuk ke wilayah Indonesia. Kondisi inilah kemudian diikuti dengan perpindahan aparat pemerintahan Purbalingga di pengungsian dusun Semingkir ke Banjarnegara yang merupakan wilayah Indonesia. Daerah Rembang juga menjadi lintasan “long march” Divisi Siliwangi (cikal bakal Kodam Siliwangi) dari Jawa Barat untuk masuk ke wilayah Indonesia.

Kini rumah yang dahulu dijadikan kantor pemerintahan sementara Purbalingga disaat Agresi Militer Belanda I hingga Perjanjian Renville sudah direnovasi sedemikian rupa. Hal ini dilakukan karena bangunan kayu yang memiliki ketahanan kurang kuat dan banyak kerusakan. Bangunan tersebut kini dikelola oleh Bapak Imam Sudibyo.

 

Tulisan sudah diterbitkan Majalah Derap Perwira

Rumah "Bahu" yang dulu digunakan sebagai Kantor Bupati Purbalingga versi RI dalam pengasingan
(kini sudah direhab karena kondisi rumah kayu yang mudah rusak)


No comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system