Babad Tanah Jawi merupakan suatu karya sejarah yang ditulis diabad 18. Terdapat dua versi Babad Tanah Jawa, yaitu versi yang ditulis Carik Braja atas perintah "tuannya", yaitu Sunan Pakubuwono III, dan versi yang lain yaitu dari Pangeran Adilangu II. Terlepas dari perbedaan diantara keduanya, saya hanya ingin menyoroti berbagai kontroversi yang melingkupi penafsiran tentang babad tersebut. Adapun kontroversi yang saya ulas antara lain :
- Saratnya unsur mistis Babad Tanah Jawi (hal diluar akal)
Generasi pada masa kini bila membaca Babad Tanah Jawi (Jawa) tentunya akan bertanya tentang keaslian isinya, bahkan yang lebih ekstrim lagi menganggapnya hanya sebuah karangan fiksi di masa itu. Keadaan ini dapat terus terjadi jika tidak ada hasil penelitian tentang latar belakang sosial kemasyarakatan masa itu termasuk pula dalam bidang religi dan kepercayaan. Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dengan unsur mistis/gaib, bahkan agama yang ada dimasa sekarang ini pun mengakui tentang hal gaib.
Begitu pula masyarakat Jawa, dari masa dulu hingga sekarang masih percaya tentang hal gaib, karena memang begitu pula yang diajarkan baik dalam filosofi budayanya maupun agama yang dianutnya. Sehingga jika dalam Babad Tanah Jawi (Jawa) dimuat berbagai hal yang sifatnya gaib/mistis maka haruslah dilihat sebagai deskripsi/gambaran masyarakat masa itu yang begitu kuat dalam hal kepercayaan. Disamping sebagai penggambaran tentang kuatnya kepercayaan yang dianut, sebaiknya juga dilihat sebagai upaya "simbolisasi" tentang kejadian nyata yang (mungkin) tabu untuk diceritakan secara utuh, mengingat filosofi Jawa "mikul duwur mendhem jero". Artinya, kebenaran memang haruslah ditegakkan tetapi jangan sampai merendahkan orang salah yang dimaksud, walaupun dalam kenyataan bisa dibalik pemaknaannya. Dibalik pemaknaannya berarti benar-benar menjatuhkan, bila tidak pintar memaknainya. Sama seperti didalam bahasa Indonesia, dikenal adanya majas, baik yang berupa hiperbola, ironi, sinisme, ameliorasi, maupun peyorasi, begitu pula didalam Babad Tanah Jawi. Jadi untuk memahaminya perlu mencari makna sesungguhnya dari "simbol" yang berupa kejadian diluar akal manusia tersebut dengan kejadian yang mungkin terjadi atau bahkan kejadian sebaliknya dari kejadian tersebut.
- Geneokologi Raja Mataram yang begitu lengkap (diawali dari nabi Adam A.s )
Daftar silsilah raja Mataram yang dimuat dalam amatlah lengkap, diawali dari Nabi Adam A.s, kemudian mencapai garis keturunan Pandawa, sampai dengan kepada raja Mataram sendiri. Geneokologi yang begitu "menakjubkan" (bagi saya mendekati mustahil) hanya akan menampilkan sesuatu yang hendak disembunyikan (atau hendak ditutup-tutupi?). Pemunculan daftar silsilah, sering dimaksudkan sebagai legitimasi akan sesuatu. Legitimasi ini dimaksudkan agar rakyat yang diperintah merasa percaya bahwa raja yang ada adalah sah, dimata hukum manusia dan hukum Yang Maha Kuasa.
Beberapa raja yang sengaja menampilkan daftar silsilah biasanya bukan penguasa sah yang sengaja mencari pengesahan atas dirinya sendiri. Raja-raja tersebut diantaranya Sri Maharaja Dyah Balitung (raja Mataram Kuno yang ternyata menjadi raja dari hasil perkawinan), Balaputradewa (raja Sriwijaya yang menghubungkan dengan Dinasti Syailendra yang waktu itu merupakan penguasa nusantara), dan masih banyak lagi. Hal ini sengaja dilakukan agar tidak ada pemberontakan dikemudian hari yang disebabkan adanya "perasaan tidak sah menjadi raja" diantara pengikut dan rakyatnya. Hal ini terjadi saat adanya "pemberontakan" Trunojoyo kepada Mataram, yang menyebutkan bahwa pendiri Mataram hanyalah keturunan petani (jika ini benar maka makna "panembahan kuwi dudu ratu nanging kuasane koyo ratu" agaknya mendekati kebenaran).
- Pencitraan buruk terhadap proses Islamisasi (khususnya era Demak)
Dalam Babad Tanah Jawi (Jawa) era Demak dicitrakan begitu jelek. Dalam diri saya bertanya, ada apa dibalik semua itu. Ternyata bila ditelusur lebih jauh, dimasa Mataram muncul ketakutan akan kembalinya hegemoni kekuatan maritim nusantara dibawah Demak, yang memang merupakan garis sah kekuasaan jika dilihat dari hierarki Majapahit. Untuk meredam "new emerging force" maka perlu pencitraan jelek (bahasa sekarang ini adalah kampanye hitam alias "black campaign") disamping penyiapan secara militer. Pencitraan jelek yang ada antara lain durhakanya pendiri Demak karena menyerang ayahnya sendiri, padahal kenyataannya Demak berusaha mengamankan haknya karena sesuai dengan hasil musyawarah Dewan Sapta Prabu karena kekosongan kekuasaan dan usaha kudeta oleh Girindrawardhana. Sisi pengamanan hak ini sengaja tidak diungkapkan oleh Babad Tanah Jawi (Jawa) karena akan mengurangi (atau bahkan menghilangkan) legitimasinya. Dimasa Demak juga masih menganut sistem pemerintahan Majapahit meskipun dengan citarasa Islam. Penggunaan sistem Majapahit ini selain untuk memperkuat legitimasinya juga untuk menjaga keutuhan wilayah yang diwarisi dari Majapahit, berupa sistem federal dan lain sebagainya. Dibuktikan bila Majapahit menggunakan Dewan Sapta Prabu sebagai Dewan Penasihat Raja, maka dimasa Demak, Dewan Penasihat Raja diwakili oleh Dewan Wali. Kontras sekali dengan keadaan Mataram yang menunjukkan "estat is moi" karena tanpa adanya Dewan Pertimbangan/dewan penasihat, karena begitu besarnya kekuasaan panembahan.
menarik untuk dikaji...
ReplyDeleteSalam.
http://nidafadlan.wordpress.com/
yup....perlu sikap kritis yang obyektif dari semua pihak...trims
ReplyDeleteKalo kayak gini tu bisa dijadiin penelitian sejarah kayak historiografi gitu gak sih?
ReplyDeletebisa banget Mas...asal dipelajari pula sosio kultural masyarakat yang bersangkutan sehingga bs dipahami alam pemikirannya
ReplyDelete