Tulisan ini sebenarnya merupakan pemikiran, unek-unek, dan segala harapan serta kritik terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia disetiap pemberitaan di media massa menunjukkan banyaknya ketimpangan, seperti masalah sarana prasarana, kurikulum, kebijakan pemerintah, input-output, dana, Ujian Nasional dan lain sebagainya. Berbagai permasalahan yang dialami dunia pendidikan Indonesia sebagian besar dibebankan kepada pemerintah.
Menilik penimpaan beban permasalahan kepada pemerintah saja sebenarnya kurang bijaksana, bukan berarti saya termasuk pendukung mutlak pemerintah, tetapi alangkah baiknya mendudukkan permasalahan sesuai porsinya. Sebagaimana diketahui, pendidikan merupakan tanggung jawab dari keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat.
- Keluarga
Tidak dapat dipungkiri, keluarga merupakan komponen pertama (dan utama, menurut penulis), karena didalam keluarga seorang individu akan belajar berbagai hal, seperti bahasa, perilaku, nilai-nilai, dan semangat/motivasi. Bila ditinjau dari segi waktu, maka waktu dikeluarga lebih banyak dibanding di sekolah. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa pihak keluarga seharusnyalah memberikan banyak waktu untuk membimbing putra/putrinya, baik pendidikan akademis maupun yang lain.
- Sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang ditunjuk pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pendidikan formal, yang berupa sekolah, merupakan institusi yang di Indonesia cukup mendapat sorotan utama sebagai penanggung jawab suksesnya pendidikan. Bila dilihat secara porsi waktu maka, dalam sehari semalam (24 jam) akan didapat waktu untuk sekolah sekitar 7 jam. Nah, sisa waktu yang ada (dan merupakan terbesar) , tentu saja tidak dapat terjangkau oleh sekolah. Disinilah peran keluarga dan masyarakat. Sekolah sudah melaksanakan "kewajibannya" dalam pendidikan. Sudahkah masyarakat dan keluarga melaksanakan perannya didunia pendidikan ? Peran disini bukan hanya soal dana (atau sumbangan orang tua siswa) tetapi lebih mendalam lagi.
- Pemerintah
Pemerintah merupakan pihak yang menyelenggarakan pendidikan di Indonesia, meskipun peran masyarakat juga besar (misalnya sekolah swasta). Regulasi/peraturan tentang pendidikan, sarana prasarana, dan penyediaan lapangan pekerjaan sebagai kelanjutan dari output yang dihasilkan. Tidak dapat dipungkiri regulasi/aturan yang ada, terkadang sulit diterapkan dilapangan atau terkesan dipaksaan, misalnya kebijakan tentang RSBI/SBI, sudah benar-benar siapkah untuk menuju ke taraf Internasional ? karena memang benar potensi siswa-siswi Indonesia tinggi, tetapi yang menjadi kendala (bila mengikuti event internasional) adalah bahasa. Sepintas kebijakan RSBI/SBI merupakan salah satu alternatif pemecahan yang baik? Penulis menyetujui bahwa RSBI/SBI merupakan salah satu solusi yang baik, namun sudah memenuhi syaratkah pengajar yang ada atau siapkah siswa? (maksudnya semua proses Kegiatan Belajar Mengajar menggunakan bahasa internasional, dalam hal ini bahasa Inggris). Mengapa pengajar menjadi sorotan penulis? karena bila hanya sarana dan prasarana saja, hal itu mudah untuk disediakan (cukup beli, hibah, dan lain sebagainya), namun sumber daya manusia (baik itu dari segi siswa maupun pengajar). Alangkah baiknya perlu ditinjau ulang atau bahkan dihentikan bila memang belum benar-benar mampu.
Kemudian, alangkah baiknya bila pendidikan tidak tercampuri masalah politik. Penulis berpendapat demikian karena kebijakan dibidang pendidikan memiliki kesan ada unsur politis. Pendidikan seharusnyalah independen, artinya harus lebih apa adanya, menjangkau seluruh rakyat Indonesia, dan benar-benar mengabdi pada kemajuan pendidikan. Memang, suatu aturan (semua aturan, kecuali aturan Tuhan) pasti ada pihak pro dan kontra, tetapi bila hati nurani bersih dari kepentingan, dan benar-benar "membumi" (sesuai budaya yang ada), insya Allah, pendidikan yang lebih independen dan bermutu akan tercipta.
- Masyarakat
Kepedulian masyarakat merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kesuksesan pendidikan. Peran serta masyarakat tidak hanya dengan mendirikan sekolah swasta, lembaga pendidikan, atau pun LSM dibidang pendidikan saja, tetapi menyeluruh. Penulis bangga dengan adanya blokir dari penyedia server internet untuk situs pornografi. Kenyataan ini menunjukkan suatu kepedulian terhadap masa depan bangsa yang berada ditangan para siswa. Peran serta masyarakat yang lain dapat diwujudkan dengan tayangan di televisi, yang sebaiknya lebih mengutamakan unsur pendidikan. Pengutamaan unsur pendidikan bukan berarti acara yang ada hanya tentang pelajaran sekolah saja, tetapi tayangan yang mendidik, karena (menurut penulis) tayangan televisi sekarang ini agak jauh dari unsur pendidikan. Jadi akan lebih baik bila televisi mengkritik pemerintah-sekolah dalam hal pendidikan, namun mereka juga menunjukkan kepedulian dengan menayangkan solusi yang baik, serta acara yang lebih mendidik (apalagi saat jam-jam belajar dari pukul 18.00-21.00 WIB).
Pendidikan di Indonesia juga (menurut penulis) mempunyai beban kurikulum yang cukup berat. Penerapan Ujian Nasional, Kriteria Ketuntasan Minimal dan Materi yang cukup berat, adalah sebagian kecil dari beratnya kurikulum pendidikan di Indonesia. Ujian Nasional merupakan salah satu "ketakutan" tersendiri bagi siswa dan guru. Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal yang cukup tinggi semakin menambah "beban" tersendiri (baik bagi siswa maupun guru). Keharusan lulus dengan nilai standar memang penting, karena pemerintah, masyarakat, dan pemerhati pendidikan membutuhkan suatu angka nominal. Menurut penulis, angka nominal itu penting, akan tetapi kualitas adalah segalanya. Pendapat saya, alangkah baiknya semua anak sekolah lulus tetapi dengan nilai apa adanya (artinya tanpa ada usaha ilegal didalamnya) karena akan lebih menggambarkan kejujuran. Fenomena belakangan yang terjadi, seperti kebocoran Ujian Nasional, menyajikan fakta bahwa siswa-pengajar demi mengejar nilai akan melakukan apa saja (baik itu ilegal maupun legal). Mereka tidak lagi mengejar kualitas tetapi kuantitas. Jika siswa demi kelulusan, maka bagi pengajar ada semacam gengsi tersendiri, baik untuk diri sendiri maupun sekolah yang bersangkutan.
Mengapa penulis menitik beratkan pada lulus semua dengan nilai apa adanya? karena baik siswa maupun pengajar/sekolah akan berusaha semaksimal mungkin dan tanpa beban untuk mendapatkan kualitas output yang baik. Output yang ada bisa berkualitas baik bila mereka dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi yang bermutu atau pun terserap didunia kerja. Banyak keluhan, baik dari institusi pendidikan tinggi maupun dunia kerja, tentang tidak seimbangnya antara nominal nilai yang diperoleh dengan kemampuan yang sebenarnya (kualitas). Peristiwa SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) atau Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan fakta yang ada dilapangan. Para siswa yang mendapat nilai tinggi dalam Ujian Nasional atau Raport, belum tentu diterima, karena tidak mampu mengerjakan test masuk/ujian masuk. Jikalaupun tidak menggunakan test masuk/ujian masuk, ada perguruan tinggi/sekolah yang merasa "tertipu" karena setelah mereka melakukan pre test setelah diterima, maka nilai ujian terdahulu (saat dibangku pendidikan sebelumnya) tidak menggambarkan kemampuan yang ada.
Penulis percaya bahwa semua pihak mempunyai tujuan yang baik dan mulia demi kemajuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan merupakan kunci keberhasilan dan kemajuan suatu bangsa/negara. Pendidikan yang berkebudayaan dengan tetap menatap kemajuan jaman akan semakin memperkokoh kepribadian bangsa.
No comments:
Post a Comment