Beberapa waktu lalu saat di resepsi pernikahan teman, kebetulan disana banyak temen juga yang "kondangan". Obrolan pun menjadi ramai saat membahas Ujian Nasional, Kelulusan, dan perihal naik atau tidak naik kelas. Banyak diantara teman yang pro dan kontra tentang Ujian Nasional, kelulusan dan juga naik/tidak naik kelas. Di tulisan saya terdahulu, ternyata formula Ujian Nasional sudah diubah, menjadi 40% Nilai Sekolah dan 60% UN. Sepintas cara ini lebih menunjukkan "diterimanya" proses yang dilakukan sekolah selama 3 tahun pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, keadaan ini juga cukup ampuh dalam melihat kejujuran sekolah dalam penilaian. Terbukti bila dilihat disparitas nilai yang ada antara nilai sekolah dan nilai UN terdapat perbedaan yang cukup jauh. Padahal disparitas yang baik antara 0-1, artinya nilai yang dihasilkan cukup meyakinkan dan dapat dipercaya.
Pelaksanaan Ujian Nasional kali ini juga diwarnai "kegiatan" mencontek massal. Aneh nya, "pelapor" malah dimusuhi. Peristiwa ini sebenarnya lebih menunjukkan sikap yang kurang baik bagi anak didik, karena mereka sedari kecil sudah diajarkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jadi jangan heran bila mereka nanti dewasa akan "melestarikan" sifat korup yang ada dibangsa ini, karena memang masyrakat dan pendidik yang ada disekitarnya memberi contoh demikian. Perlu adanya sikap tidak alergi dengan tidak lulus dan jujur dengan diri sendiri serta tidak lulus bukan berarti kiamat? Jika susah untuk diterapkan, alangkah lebih baiknya bila semua tamat sekolah namun nilai apa adanya, sesuai aturan WAJAR DIKDAS bahwa semua harus wajib belajar sembilan tahun, sehingga kualitas nilai yang dihasilkan (lebih) dapat dipercaya, karena apa adanya.
Keadaan ini sebenarnya tidak jauh beda dengan kenaikan kelas di sekolah-sekolah (atau malah ketidakmampuan siswa dalam UN adalah akumulasi dari sistem disekolah yang bersangkutan dalam "seleksi alam" yang dilakukan berupa tugas, ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Dari hasil proses yang dilakukan akan didapatkan gambaran tentang peserta didik yang dimiliki, apakah mereka benar-benar mampu, mampu dengan catatan, ataukah diragukan kemampuannya?, agaknya hal ini lah yang harus dilihat. Nilai yang ada sudahkah mencerminkan kemampuan peserta didik atau belum? meskipun ada kata-kata "guru juga manusia" pasti ada nilai belas kasihan, dan lain sebagainya (meskipun setiap guru akan melakuan belas kasihan dsb, termasuk saya, namun seharusnya tidak ,menghilangkan obyektifitas). Intinya bukan karena manusiawi atau tidak manusiawi, namun nilai kejujuran yang diterapkan serta pengertian yang diberikan kepada peserta didik (termasuk kepada orang tua/wali yang bersangkutan) perihal nilai yang didapatkan. Bukankah sekarang ini Indonesia krisis akan karakter, sehingga pendidikan berkarakter benar-benar ditekankan oleh pemerintah? . Jadi masih alergikah untuk mengatakan bahwa pengajar memang kurang mampu dalam mengajar sehingga ada peserta didik yang belum bisa menangkap pelajaran yang ada? (hal ini perlu prosentase keterserapan siswa yang diajar, dan perlu kejujuran untuk koreksi diri). Kemudian sudahkah siswa tersebut dilakukan pengayaan? jika semua proses sudah terlewati dan ternyata peserta didik memang belum mampu, silahkan ditulis belum tercapai karena memang belum mampu. Meskipun saya pernah dikritik oleh istri saya, remidial yang paling mudah adalah merangkum, jadi dengan merangkum saja peserta didik sudah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), tetapi saat saya bertanya, adakah soal ulangan atau yang sejenisnya yang berisi soal merangkum?sampai sekarang belum ada jawaban dan bukti nyata., karena memang di test, ulangan, sampai dengan Ujian Nasional, tidak ada soal merangkum.
Jadi, masihkah kita alergi untuk tidak lulus atau tidak naik ?jika memang jujur dengan diri sendiri (minimal) jikalau belum mampu seharusnya sadar diri, namun bila memang mampu ya seharusnya mendapatkan yang sesuai dengan kemampuan. Hasil dari pendidikan sekarang ini adalah 10-15 tahun kedepan, karena hakekatnya peserta didik yang ada adalah generasi muda penerus bangsa yang seharusnya berkualitas, jujur, dan penuh semangat kemajuan. Peserta didik adalah "human investmen" yang sangat berharga, bila mereka sukses sebagai pribadi duniawi dan akhirat, saya yakin pahala guru-guru yang pernah mendidiknya akan selalu mengalir.Amien