Wednesday, 21 April 2010

Pasar “Badog” pusat makanan tradisional

Pasar “Badog” itulah nama sebuah pasar yang ada di sudut kota Purbalingga. Penyebutan nama “Badog” sebenarnya hanya istilah yang diberikan oleh para pembeli yang sebagian besar merupakan pembeli yang sekedar mampir, meskipun juga banyak juga pembeli tetap. Pasar ini bernama asli Pasar Bancar, karena berada diwilayah kelurahan Bancar, merupakan pasar tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga.


Adapun pemberian nama “Badog” oleh para pembeli, bahkan sekarang lebih terkenal nama “Badog” daripada nama aslinya, berasal dari banyaknya makanan kecil yang dijajakan. Sebagian besar makanan yang dijajakan merupakan makanan tradisional yang enak, bergizi, murah, dan beraneka ragam. Kata “Badog” tersebut berasal dari bahasa Jawa Banyumasan, meskipun sebenarnya agak kasar, bila menganut hierarki bahasa Jawa.


Jika ditilik dari arti , “Badog” memiliki arti makanan atau makan (“mbadog” = makan). Pasar yang merupakan jenis pasar harian ini, artinya setiap hari ada kegiatan jual beli, akan semakin ramai pada hari minggu. Pada hari minggu sebagian besar warga yang melakukan kegiatan olah raga pagi sering menyempatkan diri untuk mampir di pasar “Badog” untuk membeli makanan selepas melakukan aktifitas olah raga. Meskipun demikian tidak sedikit juga para pembeli yang memang sengaja datang dari rumah untuk sekedar jalan-jalan melihat keramaian pasar sambil mencari makanan kecil yang diinginkan.


Keramaian pasar “Badog” tidaklah lama, karena menjelang siang, sekitar pukul 10.00 WIB, pembeli banyak berkurang, bahkan penjual pun sudah mulai menata barang dagangan yang tersisa untuk dibawa pulang kembali. Sehingga jika akan mencari makanan tradisional lebih baik datang ke sana sebelum jam 10.00 WIB, namun juga jangan terlalu pagi, karena pasar akan mulai ramai dan komplit makanan yang dijajakan sekitar pukul 06.00 WIB.


Pasar yang memiliki potensi wisata ini semoga lebih mendapat perhatian dari pemerintah setempat untuk lebih menata keadaan pasar agar lebih baik lagi. Keberadaan pasar tersebut sangat penting sebagai penggerak roda ekonomi rakyat, juga sebagai tempat pelestarian makanan tradisional, khususnya makanan tradisional Purbalingga


[slideshow]

Kya-Kya Mayong tempat santap yang mantap

Purbalingga juga memiliki pusat kuliner rakyat yang ada di Kya-Kya Mayong. Berbeda dengan pasar “Badog” yang letaknya disudut kota dan ramai di pagi hari, maka Kya-Kya Mayong terletak dipusat kota dan aktifitas dimulai sore hari sampai dengan malam/dini hari. Bila dilihat dari jenis makanan yang dijajakan juga lebih kompleks Kya-Kya Mayong. Kuliner yang ditawarkan cenderung makanan berat, sesuai dengan waktu aktifitas. Biasanya aktifitas sore hingga malam lebih banyak ditawarkan hidangan untuk makan malam.


Kya-Kya Mayong yang terletak dipusat kota, menempati suatu jalan yang kurang lebih panjangnya sekitar 500 meter di Jalan Wirasaba. Letak yang berada di tengah kota dan tepat berada didepan Gelora Mahesa Jenar, yang sering digunakan untuk suatu pameran atau pertunjukkan, menjadikan Kya-Kya Mayong terlihat lebih ramai dibanding pasar “Badog”, disamping waktu aktifitas yang lebih lama.


Meskipun diramaikan dengan pedagang makanan dimalam hari, namun dipagi hari keadaan sudah kembali rapi, sedangkan kebersihan memang sudah terjaga dengan sendirinya oleh pengunjung dan penjual makanan yang ada. Kerapian dan kebersihan di kawasan ini memang jadi kunci tersendiri dalam menarik pembeli.


[gallery columns="2"]

Sunday, 18 April 2010

Alun-Alun Purbalingga

Sama seperti kota-kota lain di Indonesia, khususnya di Jawa, yang memegang konsep "Kiblat Papat Lima Pancer" dalam tata kota. Maksud Kiblat Papat, atau Kiblat empat adalah bahwa pusat kota biasanya terdiri dari pusat ibadah (sebelah Barat), pemerintahan (sebelah selatan), pasar/perekonomian (sebelah timur), dan pertahanan/keprajuritan (sebelah utara), sedangkan Lima Pancer adalah alun-alun/lapangan yang berada ditengah sebagai pusat tempat berkumpul. Konsep ini banyak dianut oleh sebagian besar kota di Indonessia, khususnya di Jawa, meskipun tidak kaku, artinya kadang posisi saling bertukar, kecuali alun-alun dan pusat ibadah, sedang bagian pertahanan/keprajuritan untuk sekarang ini terganti oleh Lembaga Pemasyarakatan.


Di Purbalingga, yang juga menganut konsep Kiblat Papat Lima Pancer ini, menempatkan pusat pemerintahan di sebelah Utara, perekonomian/pertokoan di sebelah selatan, dan Lembaga Pemasyarakatan di sebelah timur. Alun-alun yang berfungsi sebagai tempat berkumpul dan public area, benar berfungsi sebagai mana adanya. Hal ini terlihat dari ramainya warga yang berwisata murah meriah disana.


Keramaian alun-alun Purbalingga sangat terasa menjelang sore hingga malam hari, khususnya di akhir pekan. Pengunjung pun dimanjakan dengan berbagai kuliner khas Purbalingga, berbagai permainan anak-anak (karena sebagian besar pengunjung adalah keluarga yang membawa anak kecil). Demi kenyamanan-kebersihan pengunjung, pemerintah kabupaten Purbalingga, menerapkan aturan untuk setiap pedagang hanya bisa menjajakan dagangan di sore hingga malam, selain itu pembangunan toliet di sudut-sudut alun-alun. Kebersihan yang mengundang kenyamanan sangat dijaga oleh pemerintah juga warganya. Tempat sampah yang disediakan benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya.


Alun-alun sebagai public area tidaklah cukup mampu untuk menampung minat warga untuk berekreasi murah, mengingat luasnya yang terbatas. menghadapi keadaan yang demikian, pemerintah sudah menanggapi dengan membangun dan mengkondisikan dua tempat (untuk sementara ini, semoga dikemudian hari bertambah), yaitu halaman Stadion Goentoer Darjono, dan Taman Kota yang didirikan dibekas pasar kota. Public area merupakan sarana warga masyarakat berinteraksi satu dengan yang lain disamping memiliki keuntungan lain dari segi ekonomi, baik melalui perdagangan maupun wisata.


[gallery columns="2"]

 


 

Hutan Wisata di Desa Serang

Berada di ketinggian 1500 meter diatas permukaan laut membuat kawasan hutan wisata Serang memiliki udara yang sejuk dan segar. Lingkungan yang alami, jauh dari polusi dan kebisingan kota benar-benar membuat kawasan ini memberikan ketenangan tersendiri. Lokasi yang tidak jauh dari perkebunan strawberry dan pos pendakian Gunung Slamet menjadikan hutan wisata ini sangat strategis untuk persinggahan baik sebelum maupun sesudah berwisata di Perkebunan Strawberry atau mendaki Gunung Slamet.

Jalan yang menanjak dan berliku membuat pengunjung harus berhati-hati jika mengunjungi tempat ini. Selain itu kabut dan jalan licin karena hujan merupakan tantangan tersendiri bagi pengunjung yang belum terbiasa dengan perjalanan disekitar pegunungan. Kabut dan hujan adalah hal biasa untuk daerah pegunungan seperti hutan wisata Serang.

[gallery]

Saturday, 10 April 2010

Purbalingga dalam Kesejarahan Indonesia

Purbalingga merupakan sebuah kabupaten di propinsi Jawa Tengah. Secara geografis berbatasan dengan kabupaten Banyumas, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan. Dari segi sejarah, Purbalingga belum lah sehebat daerah lain, misalnya Magelang dengan Borobudurnya, Yogyakarta dengan keraton dan candi Hindu-Buddha nya. Meskipun demikian, bila ditelusur lebih jauh, Purbalingga sebenarnya mempunyai potensi besar karena terdapat peninggalan sejarah yang relatif komplit dari masa prasejarah sampai dengan masa kolonialisme Barat di Indonesia.


 


Purbalingga dimasa Prasejarah


Purbalingga memiliki beberapa situs prasejarah. Diantara yang pernah ditemukan adalah menhir dan "bengkel"  pembuatan benda-benda (semacam perhiasan batu dsb) dimasa Neolitikhum, Punden berundak, dan lainnya. Beberapa benda yang pernah ditemukan ada yang terdapat di "Museum Terbuka", artinya masih dilokasi aslinya, dan ada yang sudah dibawa ke Museum yang sebenarnya. Menhir yang terdapat di Purbalingga agak berbeda dengan umumnya menhir yang ada, yaitu adanya istilah menhir "lanang-wadon" atau "pria-wanita" dan menhir yang berada diposisi miring ke arah gunung yang terdekat.  Adanya menhir "lanang-wadon" karena menhir biasanya sepasang dengan letak berimpitan yang pendek seperti berada di bawah yang lebih besar, seperti menahan beban yang lebih besar.


 


Purbalingga di masa Kerajaan Hindu-Buddha


Diakui memang  belum pernah ditemukan jejak kerajaan Hindu-Buddha yang berdiri di Purbalingga. Meski pun demikian banyak ditemukan sisa-sisa pemujaan yang bernafaskan Hindu. Penemuan Lingga-Yoni merupakan hal yang paling sering ditemukan di Purbalingga, baik didaerah yang bertopografi pegunungan maupun yang lebih rendah. Ada satu model Lingga-Yoni yangbisa dianggap lain dengan yang lain, karena berbentuk telur (masyarakat sekitar menyebutnya "watu ndog" atau batu telur).  Lingga dianggap dari batu yang berbentuk telur, sedang yoni adalah batu yang menjadi alas atau "wadah" nya (wadah = tempat).


Disamping Lingga-Yoni juga terdapat sebuah prasasti yang tertulis di sebuah batu besar, diperkirakan berasal dari abad VII-VIII M. Berdasarkan terjemahan seorang ahli dari UGM, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan besar daerah Purbalingga menjadi basis pertahanan (atau bahkan penyerangan) saat Sriwijaya akan menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Sriwijaya. Jadi menurut penulis, dengan banyaknya penemuan Lingga-Yoni di seputar Purbalingga adalah upaya secara kerohanian dari pihak Jawa untuk memohon kepada-Nya agar dilindungi dari serangan Sriwijaya, selain melakukan upaya nyata berupa perlawanan secara militer.


 


Purbalingga dimasa Kerajaan Islam


Dimasa Kerajaan Islam, menurut "folklore" , menyebutkan adanya kadipaten Onje (sekarang berada Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga) yang merupakan cikal bakal Kabupaten Purbalingga sekarang ini, ada juga kadipaten Cipaku (juga berada di kecamatan Mrebet, Purbalingga) sebagai asal Kabupaten Purbalingga, dan kadipaten Wirasaba (berada di kecamatan Bukateja) juga dianggap sebagai asal Kabupaten Purbalingga. Memang banyak sekali peninggalan bersejarah dimasa Hindu dan Islam ditemukan disekitar kecamatan tersebut. Manuskrip yang sampai sekarang disimpan oleh masyarakat Onje, menyebut tentang penganugerahan kadipaten Onje dari penguasa Kerajaan Pajang.


Terlepas dari hal itu semua, ada sebuah peninggalan penting yang sampai sekarang digunakan oleh masyarakat, yaitu Masjid Sayid Kuning, yang merupakan masjid kuno yang ada di Purbalingga. Disamping itu juga adanya Masyarakat Islam Aboge, yang diyakini merupakan suatu aliran Islam yang berasal dari suatu pencampuran Islam dengan budaya asli/lokal.


 


Purbalingga dimasa Kolonial Belanda


Kolonialisme Belanda sampai sekarang dapat dilihat peninggalannya berupa gedung-gedung kuno di seputar Purbalingga, pekuburan Belanda atau momento mori  (sekarang dijadikan taman kota), dan museum tempat lahir panglima Besar Jenderal Besar Soedirman (berada di kecamatan Rembang, Purbalingga).  Stasiun kereta api (hanya sekarang sudah tidak digunakan lagi) juga salah satu peninggalan Belanda yang ada di Purbalingga. Adanya komplek pekuburan Belanda, membuktikan bahwa warga Belanda banyak yang tinggal dan menetap di Purbalingga dimasa penjajahan dulu.

Tuesday, 6 April 2010

Kewilayahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki posisi strategis. Menurut astronomis, letak indonesia berada di 60 LU - 110 LS dan 950 BT – 1410 BT atau secara geografis terletak di antara benua Asia - benua Australia dan samudra Hindia - Atlantik. Kewilayahan yang begitu luas dengan ribuan pulau merupakan potensi yang besar bagi Indonesia itu sendiri. Wilayah yang luas dengan beraneka ragam sumberdaya alam serta suku-bangsa adalah kekuatan yang dapat diolah menjadi kekuatan yaing luar biasa hebat. Bila ditinjau lebih jauh, kewilayahan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) memiliki historisitas yang cukup unik.

Kewilayahan NKRI masa Kerajaan Sriwijaya (abad 7 M - abad 13 M)
Menurut beberapa prasasti yang ditemukan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaka, maka dapat dipastikan bahwa wilayah Sriwijaya meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, dan Semenanjung Malaka. Dalam tulisan ini kerajaan Sriwijaya dianggap berakhir di abad 13 M, saat terjadi "ekspedisi Pamalayu" oleh Kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Kertanegara. Kata Pamalayu dan "Suwarnabhumi" yang terpahat di prasasti Amogaphasa, menandakan bahwa Sriwijaya telah berakhir dan digantikan Melayu atau Suwarnabhumi (atau hanya berganti nama saja? ) perlu dikaji lebih lanjut. Jadi wilayah NKRI yang sekarang juga meliputi Sumatra dan Jawa, dapat dikatakan kelanjutan kewilayahan Sriwijaya. Perlu diketahui, penaklukan Sriwijaya dimasa dahulu ke daerah lain jangan diartikan sebagai penjajahan karena yang terjadi penaklukan dengan peradaban, conquer and civilization.

Disqus Shortname

Comments system