Thursday, 25 November 2010

Babad Tanah Jawi (Jawa) dan Kontroversi tentangnya

Babad Tanah Jawi merupakan suatu karya sejarah yang ditulis diabad 18. Terdapat dua versi Babad Tanah Jawa, yaitu versi yang ditulis Carik Braja atas perintah "tuannya", yaitu Sunan Pakubuwono III, dan versi yang lain yaitu dari Pangeran Adilangu II. Terlepas dari perbedaan diantara keduanya, saya hanya ingin menyoroti berbagai kontroversi yang melingkupi penafsiran tentang babad tersebut. Adapun kontroversi yang saya ulas antara lain :




  • Saratnya unsur mistis Babad Tanah Jawi (hal diluar akal)


Generasi pada masa kini bila membaca Babad Tanah Jawi (Jawa) tentunya akan bertanya tentang keaslian isinya, bahkan yang lebih ekstrim lagi menganggapnya hanya sebuah karangan fiksi di masa itu. Keadaan ini dapat terus terjadi jika tidak ada hasil penelitian tentang latar belakang sosial kemasyarakatan masa itu termasuk pula dalam bidang religi dan kepercayaan.  Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dengan unsur mistis/gaib, bahkan agama yang ada dimasa sekarang ini pun mengakui tentang hal gaib.


Begitu pula masyarakat Jawa, dari masa dulu hingga sekarang masih percaya tentang hal gaib, karena memang begitu pula yang diajarkan baik dalam filosofi budayanya maupun agama yang dianutnya. Sehingga jika dalam Babad Tanah Jawi (Jawa) dimuat berbagai hal yang sifatnya gaib/mistis maka haruslah dilihat sebagai deskripsi/gambaran masyarakat masa itu yang begitu kuat dalam hal kepercayaan. Disamping sebagai penggambaran tentang kuatnya kepercayaan yang dianut, sebaiknya juga dilihat sebagai upaya "simbolisasi" tentang kejadian nyata yang (mungkin) tabu untuk diceritakan secara utuh, mengingat filosofi Jawa "mikul duwur mendhem jero". Artinya, kebenaran memang haruslah ditegakkan tetapi jangan sampai merendahkan orang salah yang dimaksud, walaupun dalam kenyataan bisa dibalik pemaknaannya. Dibalik pemaknaannya berarti benar-benar menjatuhkan, bila tidak pintar memaknainya. Sama seperti didalam bahasa Indonesia, dikenal adanya majas, baik yang berupa hiperbola, ironi, sinisme, ameliorasi, maupun peyorasi, begitu pula didalam Babad Tanah Jawi. Jadi untuk memahaminya perlu mencari  makna sesungguhnya dari "simbol" yang berupa kejadian diluar akal manusia tersebut dengan kejadian yang mungkin terjadi atau bahkan kejadian sebaliknya dari kejadian tersebut.




  • Geneokologi Raja Mataram yang begitu lengkap (diawali dari nabi Adam A.s )


Daftar silsilah raja Mataram yang dimuat dalam amatlah lengkap, diawali dari Nabi Adam A.s, kemudian mencapai garis keturunan Pandawa, sampai dengan kepada raja Mataram sendiri. Geneokologi yang begitu "menakjubkan" (bagi saya mendekati mustahil) hanya akan menampilkan sesuatu yang hendak disembunyikan (atau hendak ditutup-tutupi?). Pemunculan daftar silsilah, sering dimaksudkan sebagai legitimasi akan sesuatu. Legitimasi ini dimaksudkan agar rakyat yang diperintah merasa percaya bahwa raja yang ada adalah sah, dimata hukum manusia dan hukum Yang Maha Kuasa.


Beberapa raja yang sengaja menampilkan daftar silsilah biasanya bukan penguasa sah yang sengaja mencari pengesahan atas dirinya sendiri. Raja-raja tersebut diantaranya Sri Maharaja Dyah Balitung (raja Mataram Kuno yang ternyata menjadi raja dari hasil perkawinan), Balaputradewa (raja Sriwijaya yang menghubungkan dengan Dinasti Syailendra yang waktu itu merupakan penguasa nusantara), dan masih banyak lagi. Hal ini sengaja dilakukan agar tidak ada pemberontakan dikemudian hari yang disebabkan adanya "perasaan tidak sah menjadi raja" diantara pengikut dan rakyatnya. Hal ini terjadi saat adanya "pemberontakan" Trunojoyo kepada Mataram, yang menyebutkan bahwa pendiri Mataram hanyalah keturunan petani (jika ini benar maka makna "panembahan kuwi dudu ratu nanging kuasane koyo ratu" agaknya mendekati kebenaran).




  • Pencitraan buruk terhadap proses Islamisasi (khususnya era Demak)


Dalam Babad Tanah Jawi (Jawa) era Demak dicitrakan begitu jelek. Dalam diri saya bertanya, ada apa dibalik semua itu. Ternyata bila ditelusur lebih jauh, dimasa Mataram muncul ketakutan akan kembalinya hegemoni kekuatan maritim nusantara dibawah Demak, yang memang merupakan garis sah kekuasaan jika dilihat dari hierarki Majapahit. Untuk meredam "new emerging force" maka perlu pencitraan jelek (bahasa sekarang ini adalah kampanye hitam alias "black campaign") disamping penyiapan secara militer. Pencitraan jelek yang ada antara lain durhakanya pendiri Demak karena menyerang ayahnya sendiri, padahal kenyataannya Demak berusaha mengamankan haknya karena sesuai dengan hasil musyawarah Dewan Sapta Prabu karena kekosongan kekuasaan dan usaha kudeta oleh Girindrawardhana. Sisi pengamanan hak ini sengaja tidak diungkapkan oleh Babad Tanah Jawi (Jawa) karena akan mengurangi (atau bahkan menghilangkan) legitimasinya. Dimasa Demak juga masih menganut sistem pemerintahan Majapahit meskipun dengan citarasa Islam. Penggunaan sistem Majapahit ini selain untuk memperkuat legitimasinya juga untuk menjaga keutuhan wilayah yang diwarisi dari Majapahit, berupa sistem federal dan lain sebagainya. Dibuktikan bila Majapahit menggunakan Dewan Sapta Prabu sebagai Dewan Penasihat Raja, maka dimasa Demak, Dewan Penasihat Raja diwakili oleh Dewan Wali. Kontras sekali dengan keadaan Mataram yang menunjukkan "estat is moi" karena tanpa adanya Dewan Pertimbangan/dewan penasihat, karena begitu besarnya kekuasaan panembahan.

Tuesday, 2 November 2010

Bersikap Lokal Berwawasan Global

Bersikap lokal berwawasan global agaknya harus benar-benar diterapkan dalam pendidikan di Indonesia. Dalam artian bukan hanya diatas kertas dalam bentuk KTSP, namun berusaha mengangkat potensi yang ada di dalam diri siswa. Penulis teringat akan semboyan Ki Hajar Dewantara, "ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". Bila diterapkan benar, Insya Allah, siswa dapat berhasil dalam hidup, karena ukuran kepuasan dalam diri seorang pendidik adalah bila melihat siswa didiknya berhasil dalam hidupnya kelak. Praktisnya setiap pendidik haruslah mampu menggali kemauan, kemampuan, dan ketekunan dari peserta didiknya.


Apabila dihubungkan dengan sikap lokal wawasan global maka akan diperoleh peserta didik yang tidak hanya memegang teguh nilai-nilai tradisi tetapi tidak akan ketinggalan dalam modernisasi. Modernisasi yang merupakan transformasi ke arah kemajuan diharapkan dapat diterapkan dengan nuansa lokal. Keadaan tersebut merupakan senjata dalam menyaring budaya asing yang masuk secara terbuka akibat globalisasi. Misalnya, ada seorang anak yang memiliki hobi memelihara burung, maka diarahkan untuk tidak hanya memelihara tetapi untuk menangkarkannya sehingga memiliki nilai lebih dan mendorongnya untuk belajar lebih banyak lagi tentang hobinya tersebut, baik dari media cetak maupun dari internet atau bahkan lebih jauh lagi mendorong munculnya komunitas pecinta burung di internet. Contoh lain adalah anak yang begitu hobi dengan situs jejaring sosial, dapat diarahkan untuk menampilkan hasil karyanya di jejaring sosial tersebut, sehingga diharapkan dia mendapatkan sisi positif dari kegiatannya itu. Hasil karya yang berupa benda maupun seni (misalnya musik, suara, maupun nyanyi).


Menampilkan hasil karya di media internet merupakan usaha mempromosikan ke dunia luar seiring dengan globalisasi yang tidak mungkin untuk dihindari. Globalisasi merupakan sesuatu hal yang pasti, tinggal kita dalam menyikapi dan memanfaatkannya. Sikap lokal yang arif tetapi berwawasan global diharapkan membawa kemajuan dan memberi bekal kepada anak didik dikemudian hari. Majulah anak-anak bangsa, raih sukses di berbagai bidang. Amien


 

Kalikajar Pusat Duku di Purbalingga

Desa Kalikajar yang berada di bagian tenggara Purbalingga merupakan profil sebuah desa kecil yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Desa yang berada di kecamatan Kaligondang ini berbatasan dengan desa Penaruban, desa Kembaran Wetan, Desa Slinga, dan Desa Sempor, bagi masyarakat Purbalingga dikenal dengan produksi buah Duku nya yang manis. Kualitas duku yang cukup bagus menjadikan pohon duku merupakan aset berharga bagi warga desa tersebut, dengan kualitas yang bagus tersebut itulah membuat harga duku asli Kalikajar lebih tinggi dari duku yang lainnya. Ibarat kata, jalan atau bangunan di desa tersebut mengikuti pohon duku yang ada, karena ada perasaan "sayang atau eman-eman" bila harus menebang pohon duku, meskipun untuk "menunggu" pohon duku berbuah dibutuhkan waktu yang cukup lama (walau berasal dari cangkok).


Penulis membuktikan memang benar duku asli dari Kalikajar berbeda dengan duku dari daerah lain. Istilahnya serupa tapi tak sama. Berikut ciri-ciri dari duku asli Kalikajar :




  1. Kulit lunak, bila dipijit mudah, karena kulitnya tipis

  2. Isi buah bening, tidak keruh seperti susu

  3. Rasa manis


Pasar "dadakan" atau "tiban" disepanjang jalan Purbalingga-Pengadegan via Kalikajar selalu ada bila musim buah duku. Hal ini terjadi jika produksi buah Duku sedang melimpah. Namun apabila produksi tidak begitu banyak, misalnya karena curah hujan yang tinggi sehingga merontokkan bakal buah, maka pasar "tiban" tidak ada, jikalaupun ada hanya sedikit pedagang yang berjualan dan juga tidak lama usia pasar "tiban" tersebut (paling-paling tidak lebih dari 3 bulan). Disamping susahnya suplai buah duku, juga dikarenakan banyak buah duku Kalikajar yang dikirim ke luar kota.


Selamat mencoba kemanisan duku asli Kalikajar.

Disqus Shortname

Comments system